Kamis, 12 Agustus 2010

Nasehat Ulama dalam Menyambut Bulan Ramadhan

Oleh: Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullahu ta’ala

Beliau rahimahullah pernah ditanya:

Samahatusy Syaikh, apa nasehat anda kepada kaum muslimin dan kita semua, dalam rangka menyambut datangnya bulan (Ramadhan) yang memiliki keutamaan ini?

Beliau menjawab:

Nasehatku kepada seluruh kaum muslimin dalam menyambut bulan Ramadhan adalah hendaklah mereka bertakwa kepada Allah jalla wa’ala, dan hendaklah mereka bertaubat dari semua perbuatan dosa yang telah lalu dengan taubat yang benar, serta hendaklah mereka memahami agama ini dengan baik dan mempelajari hukum-hukum tentang masalah puasa dan juga hukum-hukum yang berkaitan dengan amalan pada bulan ini, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من يرد الله به خيراً يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan, maka ia akan difahamkan dalam masalah agama.” [Muttafaqun ‘alaihi][1]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :

إذا دخل رمضان فتحت أبواب الجنة، وغلقت أبواب النار، وسلسلت الشياطين

“Apabila telah memasuki bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu Al Jannah, ditutuplah pintu-pintu An Naar dan para syaithan dibelenggu.” [Muttafaqun ‘alaihi][2]

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :

إذا كان أول ليلة من رمضان فتحت أبواب الجنة وغلقت أبواب جهنم وصفدت الشياطين ويناد منادٍ: يا باغي الخير أقبل، ويا باغي الشر أقصر، ولله عتقاء من النار وذلك في كل ليلة

“Apabila memasuki awal malam di bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu Al Jannah, ditutuplah pintu-pintu Jahannam dan para syaithan dibelenggu. Kemudian berserulah seorang penyeru : ‘Wahai para pencari kebaikan, sambutlah kebaikan tersebut dan wahai para pelaku kejelekan, kurangilah kejelekan tersebut. Bahwasanya Allah akan membebaskan para penghuni An Naar pada setiap malam.” [HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah][3]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah menyampaikan kepada para shahabat:

أتاكم شهر رمضان شهر بركة يغشاكم الله فيه فينزل الرحمة ويحط الخطايا ويستجيب الدعاء فأروا الله من أنفسكم خيراً فإن الشقي من حرم فيه رحمة الله

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh barakah, Allah akan datangkan kepada kalian di dalamnya yaitu turunnya rahmat dan berkurangnya kejahatan-kejahatan serta dikabulkannya do’a, maka bergegaslah menuju amal-amal kebaikan, dan bersegeralah kepada ketaatan serta menjauhlah dari amal-amal kejelekan, karena sesungguhnya orang yang celaka adalah orang yang diharamkan rahmat Allah padanya.”[4]

Dan makna dari:

أروا الله من أنفسكم خيراً

adalah “Bergegaslah menuju amal-amal kebaikan, dan bersegeralah kepada ketaatan serta menjauhlah dari amal-amal kejelekan.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

من صام رمضان إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه، ومن قام رمضان إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه، ومن قام ليلة القدر إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang melaksanakan puasa di bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan mengharap pahala, maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang melaksanakan shalat (tarawih) di bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang menegakkan malam Lailatul Qadr[5] dalam keadaan iman dan mengharap pahala, maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”[6]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Allah jalla wa’ala berfirman:

كل عمل ابن آدم له الحسنة بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف إلا الصيام فإنه لي وأنا أجزي به، ترك شهوته وطعامه وشرابه من اجلي للصائم فرحتان فرحة عند فطره وفرحة عند لقاء ربه، ولخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك

“Setiap amalan anak Adam, balasan kebaikannya adalah sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat kecuali puasa. Karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwatnya, makanannya dan minumannya karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa ada 2 kegembiraan yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabbnya. Dan bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih wangi daripada bau misik di sisi Allah.” [HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah][7]

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إذا كان يوم صوم أحدكم، فلا يرفث ولا يصخب، فإن سابه أحد أو قاتله فليقل إني امرؤ صائم

“Apabila salah seorang di antara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata-kata kotor, keji, dan berteriak-teriak. Maka apabila dia diejek atau diperangi maka katakanlah: aku adalah seorang yang berpuasa.” [HR. Al-Bukhari][8]

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya serta perbuatan kebodohan, maka Allah tidak membutuhkan usahanya dalam meninggalkan makan dan minum.” [HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih][9]

Maka wasiat kepada seluruh kaum muslimin adalah hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, hendaklah mereka menjaga puasa yang akan mereka lakukan, hendaklah mereka membentengi puasa tersebut dari segala perbuatan maksiat, dan disyari’atkan bagi mereka pada bulan tersebut untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan amalan-amalan kebaikan dan berlomba-lomba dalam ketaatan seperti memberikan shadaqah, memperbanyak membaca Al-Qur’an, bertasbih, bertahlil, bertahmid, bertakbir dan beristighfar, karena ini adalah bulan Al-Qur’an:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” [Al-Baqarah: 185]

Sehingga disyari’atkan bagi kaum mu’minin untuk bersungguh-sungguh dalam membaca Al-Qur’an. Disunnahkan bagi kaum laki-laki dan wanita juga untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an, baik siang maupun malam. Setiap satu huruf dibalas dengan satu kebaikan, dan setiap kebaikan akan dilipatgandakan sampai sepuluh kali lipat, sebagaimana yang disebutkan oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Itu semua diiringi dengan menjauhkan diri dari segala kejelekan dan perbuatan maksiat, saling menasehati dalam kebenaran serta memerintahkan kepada perkara yang baik dan melarang dari perkara yang munkar.

Inilah bulan yang agung. Dalam bulan tersebut balasan terhadap amalan-amalan shalih akan dilipatgandakan, dan amalan-amalan jelek yang dilakukan pada bulan tersebut akan mendapatkan balasan kejelekan yang besar pula. Maka wajib atas setiap mu’min untuk bersungguh-sungguh dalam menunaikan amalan yang telah Allah wajibkan atasnya dan hendaknya ia menjauhkan diri dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah.

Hendaklah di bulan Ramadhan tersebut, seseorang memberikan perhatian yang lebih besar dan lebih banyak (dibanding bulan yang lain), sebagaimanan disyari’atkan baginya untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan amalan-amalan kebaikan seperti shadaqah, menjenguk orang yang sakit, mengiringi jenazah, menyambung tali silaturahmi, banyak membaca Al-Qur’an, banyak berdzikir, bertasbih, bertahlil, beristighfar, berdo’a dan amalan-amalan kebaikan yang lain. Ini semua dilakukan dalam rangka mengharap pahala dari Allah dan takut dari hukuman-Nya.

Kita memohon kepada Allah agar memberi taufiq-Nya kepada kaum muslimin pada perkara-perkara yang diridhai-Nya. Kita juga memohon agar Allah menyampaikan puasa dan shalat kita serta puasa dan shalat segenap kaum muslimin pada derajat keimanan dan mengharap pahala dari Allah. Dan kita juga memohon agar Allah ta’ala menganugerahkan kepada kita dan seluruh kaum muslimin di berbagai tempat pemahaman terhadap agama ini dan istiqamah di atasnya. Kita juga memohon kepada Allah keselamatan dari sebab-sebab yang dapat mendatangkan murka Allah dan hukuman-Nya, sebagaimana aku juga memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar memberikan taufiq kepada para penguasa kaum muslimin dan para pemimpin mereka, agar Allah memberikan hidayah kepada mereka dan memperbaiki keadaan-keadaan mereka, dan agar Allah memberi taufiq kepada mereka untuk berhukum dengan syari’at Allah dalam seluruh urusan mereka seperti ibadah mereka, tugas-tugas mereka dan seluruh bidang-bidang urusan mereka. Sekali lagi kita memohon agar Allah ta’ala memberi taufiq kepada mereka dalam hal-hal tersebut. Ini semua dalam rangka merealisasikan firman Allah jalla wa’ala berikut:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah.” [Al-Maidah: 49]

Dan juga firman-Nya subhanahu wata’ala:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al-Maidah: 50]

Dan firman-Nya subhanahu wata’ala:

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisa’: 65]

Dan juga firman-Nya subhanahu wata’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta Ulil Amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, apabila kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisa’: 59]

Dan firman-Nya subhanahu wata’ala:

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ

“Katakanlah: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya.” [An-Nur: 54]

Dan firman-Nya subhanahu wata’ala:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” [Al-Hasyr: 7]

Inilah yang wajib atas seluruh kaum muslimin dan para pemimpin mereka. Wajib atas para pemimpin kaum muslimin dan ulama mereka serta kalangan awamnya untuk bertaqwa kepada Allah dan ta’at terhadap syari’at Allah. Hendaklah mereka menjadikan syari’at Allah ini sebagai pemutus perkara (hakim) di antara mereka, karena berhukum dengan syari’at Allah akan membuahkan kebaikan, hidayah, kesudahan yang terpuji, keridhaan Allah dan akan meraih kebenaran yang telah Allah syari’atkan, dengan berhukum terhadap syari’at Allah, juga akan terhindarkan dari tindak kezhaliman.

Kita memohon kepada Allah taufiq, hidayah, lurusnya niat dan baiknya amalan untuk seluruh kaum muslimin.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه.

[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawi’ah Asy-Syaikh Ibn Baz rahimahullah, juz 15]

Sumber: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=380207

Diterjemahkan oleh Muhammad Rifqi.


[1] HR. Al-Bukhari dalam kitab “Al-’Ilmu” bab “Man Yuridillahu bihi Khairan Yufaqqihhu fiddin” no. 71 dan Muslim dalam kitab “Az-Zakat” bab “An-Nahyu ‘anil Mas’alah” no. 1037.

[2] HR. Al-Bukhari dalam kitab “Bad’ul Khalqi” bab “Shifat Iblis wa Junudihi ” no. 3277 dan Muslim dalam kitab “Ash-Shiyam” bab “Fadhlu Syahr Ramadhan” no. 1079.

[3] HR. At-Tirmidzi dalam kitab “Ash-Shaum” bab “Maa Ja’a fi Fadhli Syahri Ramadhan no. 682 dan Ibnu Majah dalam kitab “Ash-Shiyam” bab “Maa Ja’a fi Fadhli Syahri Ramadhan” no. 1642.

[4] Disebutkan oleh Al-Mundziri di dalam At-Targhib Wat Tarhib bab “At-Targhib fi Shiyami Ramadhan” no. 1490, dan dia mengatakan: Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani.

[5] Maksudnya adalah shalat, dan termasuk pula adalah amal ketaatan yang lain seperti membaca Al-Qur’an, dzikir, tasbih, tahlil, tahmid, istighfar, berdo’a, dan amalan yang lain (pent).

[6] HR. Al-Bukhari dalam kitab “Ash-Shaum” bab “Man Shaama Ramadhana Imanan wa Ihtisaban” no. 1901 dan Muslim dalam kitab “Shalat Al-Musafirin wa Qashriha” bab “At-Targhib fi Shiyami Ramadhan” no. 760.

[7] HR. Al-Bukhari dalam kitab “At-Tauhid” bab “Qaulullahi Ta’ala: Yuriiduuna an yubaddiluu kalaamallaah no. 7492 dan Muslim dalam kitab “Ash-Shiyam” bab “Fadhlu Ash-Shiyam” no. 1151 serta Ibnu Majah dalam kitab “Ash-Shiyam” bab “Maa Ja’a fi Fadhli Ash-Shiyam” no. 1638.

[8] HR. Al-Bukhari dalam kitab “Ash-Shaum” bab “Hal Yaquulu Inni Sha’im idza Syutima” no. 1904.

[9] HR. Al-Bukhari dalam kitab “Ash-Shaum” bab “Man lam Yada’ Qaul Az-Zuur” no. 1903.

Kamis, 22 April 2010

Siapa Para Ulama?

Mungkin muncul pertanyaan, siapakah ulama itu? Hingga kini banyak perbedaan dalam menilai siapa ulama. Sehingga perlu dijelaskan siapa hakekat para ulama itu.

Untuk itu kita akan merujuk kepada penjelasan para ulama Salafus Shaleh dan orang-orang yang menelusuri jalan mereka. Kata ulama itu sendiri merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yang artinya orang berilmu. Untuk mengetahui siapa ulama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu dalam istilah syariat, karena kata ilmu dalam bahasa yang berlaku sudah sangat meluas. Adapun makna ilmu dalam syariat lebih khusus yaitu mengetahui kandungan Al Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah dan ucapan para shahabat dalam menafsiri keduanya dengan mengamalkannya dan menimbulkan khasyah (takut) kepada Allah.

Imam Syafi’i berkata: “Seluruh ilmu selain Al Qur’an adalah hal yang menyibukkan kecuali hadits dan fiqh dan memahami agama. Ilmu adalah yang terdapat padanya haddatsana (telah mengkabarkan kepada kami - yakni ilmu hadits) dan selain dari padanya adalah bisikan-bisikan setan.”

Ibnu Qoyyim menyatakan: “Ilmu adalah berkata Allah, berkata Rasul-Nya, berkata para shahabat yang tiada menyelisihi akal sehat padanya.” (Al Haqidatusy-Syar’iyah: 119-120)

Dari penjelasan makna ilmu dalam syariat, maka orang alim atau ulama adalah orang yang menguasai ilmu tersebut serta mengamalkannya dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah Subhanahuwata'ala . Oleh karenanya dahulu sebagian ulama menyatakan ulama adalah orang yang mengetahui Allah Subhanahuwata'ala dan mengetahui perintah-Nya. Ia adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahuwata'ala dan mengetahui batasan-batasan syariat-Nya serta kewajiban-kewajiban-Nya. Rabi’ bin Anas menyatakan “Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah bukanlah seorang ulama.”

Allah berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama .” (Fathir: 29)

Kesimpulannya, orang-orang yang pantas menjadi rujukan dalam masalah ini adalah yang berilmu tentang kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya serta ucapan para shahabat. Dialah yang berhak berijtihad dalam hal-hal yang baru. (Ibnu Qoyyim, I’lam Muwaqqi’in 4/21, Madarikun Nadhar 155)

Ibnu Majisyun, salah seorang murid Imam Malik mengatakan: “Dahulu (para ulama) menyatakan, ‘Tidaklah seorang itu menjadi Imam dalam hal fiqh sehingga menjadi imam dalam hal Al Qur’an dan Hadits dan tidak menjadi imam dalam hal hadits sehingga menjadi imam dalam hal fiqh.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)

Imam Syafi’i menyatakan: “Jika datang sebuah perkara yang musykil (rumit) jangan mengajak musyawarah kecuali orang yang terpercaya dan berilmu tentang al Kitab dan Sunnah, ucapan para shahabat, pendapat para ulama’, qiyas dan bahasa Arab. (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)

Merekalah ulama yang hakiki, bukan sekedar pemikir harakah, mubaligh penceramah, aktivis gerakan dakwah, ahli membaca kitabullah, ahli taqlid dalam madzhab fiqh, dan ulama shu’ (jahat), atau ahlu bid’ah. Tapi ulama hakiki yang istiqamah di atas Sunnah.
Wallahu a’lam ?